16 November 2009

Rumah Bersejarah di Rengasdengklok



Pada tanggal 16 agustus 1945 silam, kelompok pemuda menculik Soekarno dan istri beserta anaknya ke Rengasdengklok, Karawang, Jawa Barat dan menyembunyikannya di sebuah rumah milik warga Tionghoa, bernama Djiauw Kie Siong. Penculikan tersebut adalah usaha dari para pemuda untuk mengamankan Soekarno dari pengaruh Jepang yang akan memberikan kemerdekaan kepada Indonesia.


Di rumah itu, selain diamankan, Soekarno juga didesak oleh kaum muda untuk segera memproklamasaikan kemerdekaan Indonesia, tanpa harus menunggu kemerdekaan yang berupa hadiah dari Jepang. Pemuda menganggap kekalahan Jepang dalam Perang Dunia II adalah momen yang tepat bagi Bangsa Indonesia untuk memerdekakan diri, mengingat kekuatan Jepang yang mulai melemah. Peristiwa perundingan di rumah Djiauw Kie Siong itu kemudian kita sebut dengan peristiwa Rengasdengklok.

Kini, setelah setengah abad bangsa kita merdeka, jejak sejarah tersebut masih bisa dikunjungi. Bedanya, kini rumah bersejarah itu lokasinya dipindahkan, terletak sekitar 100 meter dari Monumen Kebulatan Tekad. Adapun letak rumah yang dulu didiami Soekarno berada di dekat Monumen Kebulatan Tekad. Pemindahan ini dilakukan karena lokasi aslinya dahulu terkena luapan lumpur ketika terjadi erosi di Sungai Citarum pada tahun 1957. Pemindahan ini dilakukan atas perintah Soekarno. Karena itu pulalah di lokasi aslinya dulu, kemudian dibangun Monumen Kebulatan Tekad.

Rumah yang sebagian besar bahan bangunannya diambil dari rumah aslinya ini, hingga saat ini diurus oleh cucu Djiauw Kie Siong, dengan desain bangunan tidak jauh berbeda dengan rumah yang dulu. Yang berbeda, sekarang sebagian benda atau perabotan rumah sudah diganti dengan replikanya. Adapun perabotan yang asli, ditempatkan di Museum Sri Baduga di Bandung.

Di rumah ini, kita bisa menemukan benda asli di antaranya cermin, meja, foto, lukisan serta bale-bale yang terletak di depan rumah. Sedangkan, ranjang yang dulunya ditempati Soekarno, kursi diruang tengah yang menjadi tempat berunding sudah dialihkan ke Museum Sri Baduga.
Mengenai rumah warisan kakeknya, dua orang cucu Djiauw Kie Siong menyatakan keprihatinannya pada kondisi rumah yang dikelolanya ke depan. Mereka kesulitan dalam merawat rumah tersebut. Walaupun sebagian besar keasliannya sudah hilang, namun menurut mereka rumah ini tetap memiliki nilai sejarah, apalagi pemindahan rumah tersebut bukan karena disengaja, tapi karena musibah akibat erosi Citarum.

Setiap bulannya, pihak keluarga mengaku mendapatkan uang intensif sebesar 200 ribu rupiah dari Museum Kepurbalakalaan di Serang Banten, namun mereka menilai uang tersebut tidaklah cukup dengan beban perawatan yang lebih besar. Apalagi, tugas mereka bertambah karena banyak pengunjung yang datang. Mereka harus melayani obrolan dan keperluan dari para pengunjung, salah satunya dengan menyediakan buku tamu bagi para pengunjung. Dari buku tamu yang ada disana, bisa dilihat ternyata para pengjungnya tersebar dari beberapa kota diluar Karawang, bahkan luar Jawa Barat.

Pernah, menurut cucu Djiauw Kie Siong ini, rumah tersebut diisukan akan dibeli oleh pihak swasta, dengan tawaran sebesar 2 milyar rupiah. Namun, saat itu pemerintah melalui Pemkab Karawang menolaknya, dengan alasan merupakan asset negara, tidak dijual kepada swasta. Sayangnya tawaran ini tidak sampai ke pihak keluarga. Dan, ketika ditanyakan jika ada tawaran serupa yang menghampiri lagi, cucu tertua menjawab : ”Kami akan mejualnya, daripada kami tidak mampu merawatnya, terus pemerintah juga kurang berperan, lebih baik dijual. Kami yakin pembelinya nanti akan merawat dan melestarikan lebih baik lagi dibanding kami ataupun pemerintah sekarang.”

Mengenai perhatian pemerintah terhadap nasib rumah ini, mereka pun menyayangkan kenapa pemerintah lebih memperhatikan Lubang Buaya dibanding rumah ini, ”kalau itu kan (lubang buaya) matiin para jenderal, nah ini (rumah) kan ngebangun negara”, ungkap cucu tertua, bernama Iim tersebut. (Deni Andriana)

Referensi :
karawanginfo.com




Tidak ada komentar:

Posting Komentar